Potensi besar yang dimiliki manusia, selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi adalah kecerdasan spiritual.
Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford University) mendefinisikan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas, kaya dan mendalam; kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
SQ menjadi landasan yang diperlukan untuk memfungsikan dan mensinergikan IQ dan EQ secara integral, efektif dan menyeluruh. Melalui SQ, pemikiran, perilaku dan perihidup manusia diberi makna dan bermuatan makna spiritual.
Kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient ) menyadarkan kita akan tujuan hidup dan pemaknaan kehidupan yang kita jalani. Bahwa hidup memiliki arah dan tujuan hidup, bahwa setiap kehidupan memiliki pemaknaan yang tidak sekedar makna-makna bersifat duniawi.
Spiritual Quetient (kecerdasan spiritual) memformulasi dirinya melalui value yang terbit lewat suara hati. Secara halus dan subtil, ia menempati ruang di relung hati manusia. Dan suara hati melintasi waktu, tempat, ras, suku bangsa dan agama. Kecerdasan spiritual melintasi batas agama (religion). Meski demikian, pemaknaan yang mendalam dan lurus terhadap agama yang dianut akan menjadi landasan yang kuat bagi tumbuh dan berkembangnya suara hati dalam diri manusia.
Antara Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual
Daniel Goleman, seorang pakar kecerdasan emosi (Emotional Quotient) berpendapat bahwa peningkatan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ). Jika kemampuan murni kognitif (IQ) relatif tidak berubah, maka kecakapan emosi dapat dipelajari dan ditingkatkan secara signifikan. Dengan motivasi dan usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut.
Kecerdasan emosi ini dapat meningkat, dan dapat terus ditingkatkan sepanjang kita hidup.
Lalu, antara IQ dan EQ, lebih penting mana? Dari sudut pandang saya, saya memilih EQ dulu baru IQ. Secara kondisi normal saja, saya lebih suka berdiskusi dengan orang yang memiliki empati baik, simpati, pribadi yang hangat, bisa memahami dan mau mendengarkan perkataan orang lain, daripada ia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata namun miskin simpati, empati, pribadi yang dingin dan tidak mau memahami/mendengarkan perkataan orang lain. (Sobat sendiri mungkin punya pandangan lain? Silahkan berkomentar).
Namun demikian, pernahkah Anda mengalami hal demikian.
Suatu saat dalam hidup Anda, Anda dipertemukan dengan seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik. Orangnya simpatik, bisa berempati, pribadi yang hangat, mampu memahami orang lain, dan jika berdiskusi, terkesan memahami masalah kita dan mau mendengarkan segala permasalahan kita dengan sungguh-sungguh. Hingga suatu saat, ketika kita benar-benar percaya, ternyata akhirnya kepercayaan kita itu disalahgunakan olehnya?
Salah seorang sahabat saya, pernah mengalami hal demikian. Dan tidak dapat terkatakan betapa dalam rasa kecewanya.
Ini hanya contoh nyata yang bagitu "sederhana" saja, untuk mengatakan bahwa ternyata, kecerdasan emosi (EQ) saja belumlah cukup. Bagaimana kecerdasan emosi bisa disetir untuk hal-hal yang tidak menguntungkan sesama. Pada akhirnya, kita masih membutuhkan satu kecerdasan lagi, kecerdasan tertinggi kita, yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan yang menjadi pedoman, arah, dan tujuan untuk apa dan bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Agar prestasi duniawi yang kita capai, semakin bermakna dan tidak kehilangan arah. Karena selalu diarahkan oleh sang suara hati.
0 comments via blog:
Posting Komentar