Minggu, 11 Desember 2011

Ken Soetanto

Pepatah yang berbunyi, “There is no greatness without suffering” (Tak ada KEJAYAAN tanpa PENDERITAAN) mungkin tergambar jelas dari perjalanan hidup seorang pantang menyerah bernama lengkap Ken Soetanto ini.

Perjuangan panjang Soetanto dimulai ketika SMA-nya di Surabaya, Chung-Chung High School, ditutup pemeritah untuk selamanya pada 1965, bersamaan dengan terjadinya gejolak politik antikomunisme. Ia akhirnya terpaksa bekerja sebagai tukang reparasi radio di toko milik kakaknya. “Setelah toko tutup pada jam 8 malam, saya belajar sampai jam 5 pagi. Saya terus mengotak-atik radio dan tape. Semangat ini masih saya bawa sampai sekarang.”

Lalu begitu merasa mampu memperbaiki alat elektronik, Soetanto pun berkeliling ke toko-toko elektronik di Blawuran untuk menawarkan jasa reparasi gratis. Meski memberikan jasanya secara cuma-cuma, ia tak lantas dipercaya orang. Hingga Soetanto harus memberikan senjata pamungkasnya dengan ucapan, “Kalau rusak, komponennya saya ganti.” Kegiatan ini berlangsung hingga hampir delapan tahun lamanya.

Walaupun toko milik kakaknya berkembang pesat dan Soetanto sendiri mampu mengumpulkan banyak uang, ia merasakan kehampaan dalam jiwanya. Panggilan jiwanya untuk menimba ilmu hingga mampu menjadi ilmuwan terus mengusiknya. Namun, suasana sosial politik di Indonesia pada masa itu tidak memungkinkan impian Soetanto terwujud. Karena itulah, ia tak punya pilihan lain selain harus pergi ke luar negeri. Dengan bantuan kakaknya dan uang tabungan Soetanto sendiri, ia akhirnya bisa menuntut ilmu ke Jepang.



Meski sudah berhasil menginjakkan kaki di Jepang dan berkesempatan belajar di Negeri Sakura, bukan berarti langkah perjuangan Soetanto berhenti. Justru di sinilah jiwa pantang menyerah dan kegigihannya diuji sangat keras.

Sewaktu Soetanto memulai sekolah kembali di Jepang, usianya sudah 27 tahun. Padahal rata-rata orang Jepang pada umur segitu sudah meraih gelar PhD. Karena itu, ia mendapat hinaan. Meski begitu, ia tak menyerah. Rencana menyelesaikan studi S-1 selama satu tahun akhirnya molor hingga empat tahun.

Pada tahun ketiga masa kuliahnya, perusahaan kakaknya di Pasar Turi ludes terbakar. Pada peristiwa itu, sekitar 4.000 toko di pasar itu terbakar habis dalam tiga hari. Kejadian ini membuat Soetanto tak lagi mendapat bantuan dana dari kakaknya. Bahkan, kakaknya meminta Soetanto untuk pulang ke Indonesia. Namun, Soetanto malah berkata, ”Saya pasti lulus. Saya akan tetap meneruskan sekolah meski tanpa kiriman uang dari kakak.” Kebetulan Soetanto juga memiliki pekerjaan sebagai guru les privat dengan bayaran 40 ribu yen, atau kira-kira sepertiga biaya hidup yang dia butuhkan. Prinsip ”never-never give up” menjadi pegangan Soetanto kala itu.

Dengan prinsip itu pula, Soetanto berhasil menyelesaikan S-1 dalam waktu 4 tahun, S-2 selama dua tahun, dan S-3 selama tiga tahun. Setelah lulus S-3, ia pulang ke Indonesia untuk menjemput istri dan anaknya untuk tinggal di Jepang. Tapi ternyata selama satu tahun kemudian, Soetanto tak kunjung mendapat satu pun pekerjaan. Padahal, ia lulusan Tokyo Institute of Technology yang setara dengan MIT-nya Jepang. Nilai akademik Soetanto pun bagus. Setelah diselidiki, ternyata yang menjadi penghalang dirinya bekerja di Jepang adalah latar belakangnya yang asal Indonesia atau luar negeri.


Terbentur tembok perintang semacam ini membuat Soetanto mencari solusi lain. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya untuk mendobrak ”tradisi” di Jepang itu adalah ia harus melebihi kepintaran orang Jepang. Karena itulah, ia memutuskan untuk kuliah lagi. Kali ini, ia mengincar gelar PhD di bidang kedokteran. Soetanto mampu meraih gelar ini hanya selama separuh masa studi yang seharusnya, yaitu 7 tahun.

”Dengan mengantongi dua gelar, saya merasa menjadi orang top. Orang Jepang menyebutnya dengan istilah, hantu yang membawa besi. Hantu saja sudah ditakuti, apalagi yang membawa besi,” begitulah pemikiran Ken Soetanto. Namun ternyata, perkiraannya ini meleset jauh. Ia masih saja kesulitan mendapat pekerjaan. Sampai-sampai, istri dan anaknya harus diungsikan ke kerabatnya di Hong Kong.

Lalu, tiba-tiba Soetanto dihubungi oleh mantan profesornya, yang sering ia panggil dengan sebutan Profesor IT. Profesor ini sangat pintar dan hebat serta memiliki hak paten sebanyak 900 item. Namun, ia juga sangat kejam. Saat bertatap muka, sang profesor menceritakan kepusingannya mencari dosen biomedical di Jepang. Lalu, Soetanto menawarkan diri untuk mengisi lowongan itu karena memang latar studinya adalah bidang kedokteran dan biomedical. Singkat cerita, Soetanto diperkenalkan ke rektor dan menjalani tes. Dari hasil itu didapat, nilai respektor Soetanto adalah 37 dan itu sudah sangat cukup, serta bahasa Inggrisnya juga cukup. Karena itu, ia diminta untuk menyerahkan aplikasinya.

Berita itu membuat Soetanto sangat gembira. ”Tuhan memang mengasihi orang-orang yang tak berputus asa,” begitulah pikir Soetanto. Namun, ternyata kenyataan yang lebih pahit harus diterima Soetanto keesokan harinya. Ketika datang kembali ke kampus untuk menyerahkan aplikasi yang diminta dan sampai harus menunggu hingga berjam-jam, ia ”dibombardir” dengan ucapan dingin sang profesor. ”Tanto, ini bukan di Indonesia, ini Jepang. Lupakan aplikasi kamu! Kamu orang Indonesia. Kamu bisa belajar atas bantuan orang Jepang, kok sekarang mau mengajar orang Jepang? Orang Jepang tak butuh kamu!” Sontak hati Soetanto seperti teriris-iris.

Meski perasaannya hancur, tak lantas menghancurkan mimpinya. Hinaan itu malah dijadikannya tekad kuat untuk membuktikan bahwa orang Indonesia juga mampu memiliki kemampuan di atas orang-orang Jepang. Tekad inilah yang kini menjadi kenyataan manis. Setelah ditempa dalam ”bara api yang sangat panas”, kini Soetanto menjadi berlian yang sangat indah.

Ia berhasil meraih gelar profesor dan empat gelar PhD dari empat universitas berbeda di Jepang. Yaitu, PhD di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology, PhD di bidang kedokteran dari Universitas Tohoku, gelar Doktor Ilmu Farmasi dari Science University of Tokyo, dan Doktor Ilmu Pendidikan dari Universitas Waseda. Soetanto menjadi orang pertama non-Jepang yang menduduki jabatan Kepala Divisi di Universitas Waseda. Ia salah satu dari tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang, yang telah mempublikasikan lebih dari 1.100 karya ilmiahnya.

Ken Soetanto berhasil mewujudkan mimpinya semasa muda: menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi orang banyak. Luar biasa!



tag:andriewongso.com

0 comments via blog:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More